JUBO (JUJUR YES,BOHONG NO)

BY. YERDEVI MAYA

Jujur yes, bohong no. Ini semboyan yang sering terdengar saat pelaksanaan penilaian atau pemotivasian karakter peserta didik. Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), menjadikan pendidikan karakter sebagai flatporm pendidikan nasional untuk membekali peserta didik menjadi generasi emas tahun 2045.

Tentunya dengan jiwa pancasila dan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan (pasal 2). Perpres ini menjadi dasar untuk meletakkan pendidikan karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

K13 sebagai rujukan proses pembelajaran telah mengintegrasikan PPK dalam empat Komponen Inti (KI), yang meliputi KI-1 sikap spiritual, KI-2 sikap sosial, KI-3 pengetahuan, KI-4 keterampilan.

KI ini mengikat berbagai kompetensi Dasar (KD) ke dalan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipelajari peserta didik pada setiap jenjang pendidikan. Setiap peserta didik harus berprilaku yang dapat diukur sesuai dengan acuan yang telah ditetapkan bahkan pengukuran sikap tersebut harus dengan predikat B.

Jika peserta didik mendapat predikat C, peserta didik tersebut dapat dinyatakan tidak lulus ujian sekolah dan pastinya tidak berhak mendapatkan ijazah. Pernyataan ini berlaku mutlak dan tidak terbantah, sesuai dengan ketetapan yang telah dirumuskan oleh sekolah masing-masing.

Namun, perwujudan dari kemutlakan tersebut belumlah dapat dipertanggungjawabkan.
Sekolah sebagai lembaga yang notabene mengajarkan pendidikan karakter kepada peserta didik, terkadang kalah bersaing dengan sebagian lingkungan peserta didik yang terkesan membiarkan kesalahan yang dibuat peserta didik.

Baik di lingkungan bermain atau pun lingkungan keluarga. Padahal, sekolah telah mencanangkan program untuk pengaplikasian karakter tersebut dalam keseharian peserta didik, misalnya karakter jujur, peserta didik harus jujur menjawab, “apakah PR-nya dibuat di sekolah atau di rumah.

Dari 30 orang peserta didik yang ditanya, yang menjawab jujur hanya 5 orang. Begitu juga saat pelaksanaan penilaian, apakah itu Penilaian Harian (PH), Penilaian Tengah Semester (PTS), dan Penilaian Akhir Semester (PAS). Peserta didik akan saling bertanya jawab di ruang penilaian.

Mereka kasak kusuk meminta jawaban, atau menyontek jawaban teman. Padahal lembar soal ada di hadapan mereka , tetapi mereka malah menegok ke lembar soal temannya. Ketika ditegur mereka pura-pura tidak mendengar dan menjawab “Manga Wak,Buk?” Semudah itu mereka berkata bohong.

Miris bukan? Harusnya, mereka bisa melatih diri untuk membina dan menumbuhkembangkan akhlak yang baik untuk diri mereka sendiri dengan berupaya memperbaiki prilaku yang salah. Mereka harus menjawab jujur tidak peduli apapun kenyataannya, dengar berkata jujur mereka telah meghargai diri mereka sendiri.

Otomatis orang lain pun akan menghargai, meskipun kognitifnya kurang,dengan berkata jujur, nilai tambah telah dimilikinya. Mereka harusnya menyadari untuk mendapatkan nilai tinggi, tidak patutlah segala cara dihalalkan. Jika sekali saja berbohong selamanya orang tidak akan percaya.

Untuk apa kebohongan yang hanya bersifat sementara. Namun,akibatnya akan melahirkan kebohongan- kebohongan lainnya. Seandainya salah seorang dari peserta didik tersebut ditakdirkan menjadi pemimpin. Apa jadinya negara ini. Oleh sebab itu, kejujuran sangat diperlukan di lingkungan mana pun mereka berada.

Semoga kelak peserta didik mengingatnya dan mengaplikasikan dalam kehidupannya. Akan halnya harapan sekolah sejatinyalah didukung oleh pihak masyarakat dan keluarga sehingga filosofi “tigo tungku sajarangan” itu dapat bersinergi dengan dunia pendidikan. (Yerdevi Maya, S.Pd, GURU SMAN 2 SUNGAITARAB)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *